Di Jawa Timur topeng-dalang berkembang dengan baik. Seperti halnya di daerah lain, topeng dalang di Jawa Timur mempunyai ciri-ciri antara lain, memiliki gaya pementasan seperti wayang (wayang wong) dan terdapat dalang yang bertugas meminpin pertunjukan.
Pelaku-pelakunya mengenakan topeng (kedok) dalam menggambarkan tokoh-tokoh yang dimainkan. Kemudian terdapat juga gerak tari yang selaras dengan gerak laku ucapan dan diiringi oleh gamelan atau tabuhan sebagai unsur pewarna situasi dan suasana.
Sebagaimana lazimnya pada bentuk kesenian yang sejenis, topeng dalang dilengkapi dengan punakawan yang selalu membuat lelucon. Sebagai tontonan rakyat, punakawan yang mengungkapkan lelucon dengan berbagai cara membuat tontonan lebih meriah.
Lakon yang dipilih biasanya siklus kisah Panji, kisah Mahabrata dan kadang-kadang juga Ramayana. Waktu pertunjukan tidak tentu batasnya, biasanya dipentaskan paling sedikit tiga jam dan dapat pula dipentaskan semalam suntuk.
Seperti namanya “topeng dalang”, dua unsur yang memegang peranan penting adalah topeng dan dalang. Topeng berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang dikehendaki, sedangkan dalang berfungsi sebagai pembawa ceritera atau pengatur tingkah laku.
Karena pemain atau pelaku mengenakan topeng, tentu agak sulit untuk berbicara dengan baik dan jelas. Maka dialog tidak langsung dilakukan oleh pemain, dalam hal ini dalang yang bertugas melontarkan ucapan-ucapan sesuai dengan gerakan pemain. Untuk itu biasanya seorang dalang dituntut mempunyai kemahiran dalam berbagai jenis suara dan menguasai dengan baik kisah-kisah wayang yang dilakonkan.
Untuk mengetahui siapa yang sedang berbicara, penonton dapat membedakan dari nada, warna suara tertentu yang diucapkan oleh Ki Dalang dan juga dapat ditangkap dari gerakan;gerakan yang dilakukan oleh pemain.
Topeng yang dikenakan oleh pemain dapat mengekpresikan karakter-karakter tertentu seperti kasar, lembut, gagah, halus, jahat, baik dan sebagainya. Dengan demikian topeng merupakan pengucapan visual karakter tokoh-tokoh yang diperankan oleh pelaku. Secara garis besar, karakter topeng-topeng diwujudkan dalam bentuk hidung, mata, mulut dan juga warna topeng
Bentuk hidung seperti pagot (pisau alat pengukir) kecil mencerminkan watak lembut. Bila menyerupai pagot ukuran sedang atau menyerupai ujung parang mencerminkan tokoh yang gagah berani. Sedang bentuk hidung pesek, kecil, menunjukkan watak penuh pengabdian yang biasanya terdapat pada tokoh punakawan.
Mata topeng berbentuk butir padi menunjukkan tokoh yang jujur, sabar, lembut, gesit dan perwira. Berbentuk biji kedelai menunjukkan tokoh perwira, tangkas, jujur, pemberang, gagah berani, yang biasanya terdapat pada tokoh raja atau satria. Biji mata yang membelalak (mentelang: Bahasa Jawa) menunjukkan tokoh yang pantang mundur, gagah berani. Bila topeng bermata besar dan melotot menunjukkan watak gagah perkasa, keji, angkara murka dan sebagainya
Bentuk bibir atau mulut juga menunjukkan karakter tokoh-tokoh, antara lain bibir terkatup menunjukkan tokoh berwatak gagah berani, sedikit terbuka menunjukkan watak lembut dan luhur budi. Topeng berbibir terbuka dengan deretan gigi menunjukkan tokoh berwatak sok gagah, soh berani. Mulut topeng terbuka lebar, gigi tampak, kadang-kadang bertaring menunjukkan watak galak dan angkara murka.
Selain itu warna juga dimaksudkan untuk menggambarkan tokoh-tokoh Warna merah menunjukkan tokoh berwatak angkara, jahat, berani. Merah jambu menggambarkan tokoh yang keras hati, warna biru tua menggambarkan tokoh dengan kekuatan magis, biru telur menunjukkan tokoh baik hati, putih menunjukkan kesucian dan hitam menggambarkan tokoh yang bijak dan teguh.
Mengenai warna antara satu daerah dengan daerah lain tidak selalu sama. Demikian pula ciri-ciri bentuk lainnya yang telah dikemukakan di atas tidak semua dapat diterapkan secara mutlak. Antara daerah yang satu dengan yang lainnya selalu ada perbedaan ciri bentuk topeng.
Di samping topeng yang memberikan karakter tokoh peran, busana juga merupakan ciri yang memberikan identitas. Dalam hal tersebut tampak antara lain busana kepala. Tokoh raja umumnya mempergunakan topeng atau mahkota. Para punggawa mempergunakan gelang kalung, putri menggunakan gelang keputren. Terdapat pula beberapa jenis bentuk yang khusus dipergunakan oleh tokoh Kelana Sewandana bila mengambil lakon panji.
Pada umumnya pemeran laki-laki bertelanjang dada tetapi jika tokoh laki-laki tersebut dimainkan oleh seorang wanita maka biasanya dikenakan baju atau penutup dada sampai pinggang.
Masyarakat pada umumnya menggemari lakon cerita Panji dan Mahabrata. Meskipun kadang-kadang Ramayana juga ditampilkan misalnya pada topeng dalang Madura, tetapi sampai saat ini belumlah sepopuler Mahabrata. Sedang lakon Panji khusus ditampilkan oleh topeng Malang.
Mengenai lama pertunjukan, tidak pada ketentuan yang pasti. Umumnya tiga sampai empat jam, bahkan hingga semalam suntuk. Saat ini malah ada yang mempersingkat menjadi satu setengah jam, yang merupakan fragmen garapan baru berdasarkan pola penciptaan koreografi. Biasanya dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan tari dan karawitan atau perkumpulan amatir di kalangan para terpelajar.
Sedangkan pertunjukan yang dilakukan oleh golongan “rakyat” selalu mengikuti pola-pola tradisional yang tidak mengenal konsep dramatik ataupun koreografi. Bagi pertunjukan rakyat yang terpenting adalah mampu memberikan hiburan, komunikatif dan memenuhi selera masyarakat lingkungannya yang tradisional pula.
Topeng dalang dapat dipentaskan di beberapa tempat dengan cara penataan yang berbeda-beda pula, Kalau dipertunjukkan di gedung khusus untuk pementasan tentu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi bila dipertunjukkan pada sebuah pendapa, pentas dapat dibuat berbentuk arena dengan penonton duduk berkeliling. Salah satu sisi terbuka untuk gemelan dan jalan untuk keluar masuk pemain. Untuk ruang tunggu pemain dapat dibuat aling-aling.
Kalau pertunjukan dilakukan di halaman rumah, seperti yang sering dilakukan di desa, maka di tempat tersebut dapat dibuat bangunan darurat yang di Jawa Timur dikenal dengan nama torup atau tarub di Jawa Tengah. Kalau mungkin dapat dibuat panggung yang dibagi dua, maka tempat pertunjukan di depan dan tempat rias di- belakang. Dua bagian ini dibatasi dengan penyekat yang dibei tirai.
Pembagian pemeran dilakukan oleh dalang yang dalam hal ini bertindak sebagai pimpinan pertunjukan. Dalam memilih pemain, diperhatikan keadaan fisik (perawakan). Roman muka dan warna suara tidak terlalu diperhatikan, karena fungsinya akan digantikan oleh topeng dan dalang.
Dengan demikian peranan putri pun mudah dilakukan oleh pemain laki-laki, seperti telah menjadi kelaziman pada pertunjukan topeng-dalang di Malang dan sekitarnya. Pada belakangan ini telah dilakukan campuran, pemain perempuan disamping dapat memainkan tokoh putren, juga untuk tokoh-tokoh satria alusan (istilah wayang: blambangan) seperti Arjuna dan sejenisnya. Sedangkan tokoh gagahan tetap diperankan oleh laki-laki.
Sebelum dilakukan pementasan, sesuai dengan tradisi, dilakukan upacara. Ki Dalang duduk di tengah-tengah pentas menghadap ke arah penonton. Di tengah-tengah ada tempat pembakaran dupa, topeng-topeng yang akan dipakai dijejerkan di depan Ki Dalang.
Kemudian pelaku masuk satu demi satu dalam pakaian pentas tetapi tanpa topeng, kemudian duduk mengitari Ki Dalang. Setelah dibaca mantera-mantera dan beberapa topeng diasapi, baru kemudian dibagikan kepada para pemain.
Sementara itu gamelan berbunyi terus dan dogdogan (suara ketukan Ki Dalang) sebagai tanda dimulainya pertunjukan dibunyikan setelah gamelan berhenti. Pertunjukan dimulai dengan urut-urutan adegan yang hakikatnya mengikuti pola tertentu dan tetap. Hal tersebut berlaku bagi lakon apa pun.
Kini topeng-dalang masih tetap digemari dalam masyarakat. Umumnya dipentaskan bila terdapat keramaian atau hajat seperti mantu, khitanan, merayakan hari nasional, maupun untuk menyambut tamu-tamu negara dan wisatawan.