Tari Sintren yang berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat, sebagai apresiasi seni dan nilai-nilai estetik masyarakat dan untuk ntuk memeriahkan peringatan hari-hari besar, seperti hari ulang tahun kemerdekaan, hari jadi. Sampai saat ini masih dilestarikan oleh masayarakat Pekalongan umumnya Jawa Tengah dan Jawa Barat– sekitar Pantai Utara.
Tari Sintren; Kisah Sulais dan Sulandono
Berawal dari kisah Sulais dan Sulandono yang tidak direstui orang tuanya. Maka dari itu Sulandono pergi bertapa dan Sulais memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulais, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulais dan terjadilah pertemuan di antara Sulais dan R. Sulandono.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). Karena itulah dalam pementasan Sintren penarinya selalu dimasuki roh yang dipanggil oleh orang yang berperan sebagai pawang, dengan cara membaca mantera dan membakar kemenyan.
Pertunjukan Sintren; Tarian Pemanggil Hujan
Umunya pertunjukan Sintren dilaksanakan dengan waktu bebas tanpa dibatas dan biasanya diselenggarakan pada acara pernikahan, sunatan atau sekedar penyambutan tamu dalam acara pemerintahan.
Selain itu ada juga Sintren yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu, biasanya diadakan pada saat kemarau panjang selama 35 sampai dengan 40 hari, Sintren jenis ini dipercaya sebagai ritual pemanggil hujan.
Sintren yang diselenggarakan bebas biasanya diiringi dengan musik tarling dangdut sebagai musik pengiring. Alat musik tersebut terdiri dari Waditra, Gendang, Goong. Sedangkan pemainya jumlahnya sama seperti Sintren yang diadakan sebagai ritual untuk memanggil hujan.
Si pelaku utama Sintren tak hanya satu Sintren wanita saja sebagai bendara (tuan perempuan), melainkan ditambahkan satu Sintren pria atau yang biasa disebut lais, dan empat orang pemuda yang bertugas menghibur atau biasa disebut bodor.
Pada Sintren yang diselenggarakan sebagai ritual pemanggil hujan. Sintren, terdiri satu bendara wanita atau ratu saja dan empat orang bodor. Lais tidak bisa disatukan dengan Sintren seperti pada penyelenggaraan Sintren yang bebas. Lais bisa dimainkan terpisah dengan pemain satu lais (bendara pria) dengan empat pemuda sebagai bodor.
Tari Sintren ini lebih unik ketika memakai alat pendukung yang menjadikan tarian tersebut varatif. Alat pendukung tersebut tidak sembarang, melainkan sebegai pelengkapperalatan mistik.
Perlangkapan untuk tari Sintren tersebut diantaranya: tikar berwarna putih, tangga dari bambum, tambang, pakaian putri, ranggap (kurungan ayam), kacamata hitam, bunga minimal 7 warna, dupa, minyak wangi, korek api, arang, kemenyan, busana, baju keseharian, kain untuk bawahan, celana cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjang nya sampai lutut, sampur, jamang atau hiasan rambut yang dipakai di kepala, kaos kaki dan kacamata hitam yang berfungsi sebagai penutup mata, karena selama penari Sintren selalu memejamkan mata akibat tidak sadarkan diri. Juga sebagai ciri khas kesenian Sintren dan menambah daya tarik atau mempercantik penampilan.
Sedangkan untuk jumlah pemaian terdiri dari: Penabuh bambu ruas (3 orang), Penabuh gendang (1 orang), Penabuh goong (1 orang), Penabuh kecrek (1 orang), Seorang anak perempuan, Pelawak (2-3 orang), Vokalis pria (1 orang), Juru kawih (5-6 orang), Punduh (1 orang).