Bahasa Kutai pada umumnya hidup dan berkembang dalam bentuk tuturan (lisan), termasuk dalam seni sastra berbentuk pantun. Sangat sedikit bukti-bukti tertulis yang bisa dijadikan sumber rujukan sejarah terkait dengan bahasa ini. Beberapa sumber tertulis peninggalan kerajaan Kutai umumnya berbahasa Melayu dengan menggunakan aksara Jawa.
Hari ini, bahasa Kutai mengenal beberapa dialek. Di antara banyak dialek yang digunakan masyarakat Kutai, tiga yang paling luas dikenal orang adalah dialek Tenggarong, dialek Kota Bangun, dan dialek Muara Anclong.
Selain tiga dialek tersebut, masih bisa diurutkan banyak sekali dialek yang berkembang di tengah masyarakat Kutai, seperti dialek Sengata, dialek Muara Muntai, dan dialek Muara Kaman. Dialek-dialek ini terus berkembang diikuti dengan perbedaan morfologi dan peristialahan untuk setiap kata antara satu dan yang lainnya
Berdasarkan Ethnologue, bahasa Kutai hari ini terbagi menjadi dua, yakni Bahasa Melayu Kutai Kota Bangun ( dengan kode bahasa “mqg”), dan Bahasa Melayu Kutai Tenggarong (dengan kode bahasa “vkt”), yang dituturkan di Tenggarong, Loa Janan, Loa Kulu, Muara Kaman, Muara Pahu, Anggana.
Sejalan dengan perkembangannya, bahasa Melayu yang dituturkan masyarakat Kutai mengelami sejumlah perubahan. Salah satunya adalah pola perubahan “a” menjadi “e”, seperti yang tergambar dari perbandingan berikut:
Melayu Kutai : Mandi=Mendi, Jalan=Jelan, Darah=Derah, Balian=Belian
Bahasa Kutai Hari Ini
Seperti bahasa daerah lainnya, bahasa Kutai hari ini diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di wilayah Kalimantan Timur. Namun Bahasa Kutai ternyata memang tidak se-populer Kerajaan Kutai.
Tak ubahnya bahasa daerah lainnya, intensitas penggunaan bahasa Kutai dalam kehidupan sehari-hari warga Kutai semakin berkurang, terutama di kalangan muda-mudi.