almanak

Tembakau dan Sepenggal Sejarah Rokok di Indonesia

Sebagai komoditas industri, sejak 1626 tembakau sudah dijual oleh Kompeni di Batavia. Beberapa perusahaan asing tersebut rupanya mencium nilai bisnis dari tembakau, sebagai komoditas penting yang juga mendapat nilai jual tinggi di Eropa.

PublishedJune 1, 2013

byDgraft Outline

Rokok tembakau yang dicampuri cengkih kabarnya baru muncul pada tahun 1880. Dari suara yang ditimbulkannya, “kretek, kretek, kretek”, jadilah rokok itu disebut sebagai rokok kretek. Industri rokok kemudian berkembang luas di Jawa Tengah sebagai industri rumahan —hingga kini.

Alkisah, karena ia menolak dinikahi seorang pejabat berpangkat tumenggung, Rara Mendut dikenai pajak yang tinggi kemudian ia memutuskan untuk menjual sesuatu yang dijadikan “benteng” bagi dirinya untuk tetap setia kepada kekasih tercintanya, Pranacitra.

Dengan modal dari sang tumengung, yakni Wiraguna Bupati Pati, sang gadis melinting banyak rokok untuk dijualnya ke khalayak dan hasil pejualannya diberikan kepada sang tumenggung sebagai ganti bagi modalnya.

Pada masa itu, selain dikunyah seperti cengkeh —kebiasaan pembesar Cina sebelum menghadap kaisar agar mulut mereka wangi—tembakau juga telah dihisap dengan cara digulung dalam lembaran kering daun jagung. Kemudian pada ujung terkecil dari lintingannya itu diikat seutas benang. Setelah siap, lintingan tembakau-jagung itu pun dibakar.

Konon, untuk menambah sensasi bagi para pembeli, yang kebanyakan pria, Rara Mendut membasahi gulungan tembakau dengan ujung lidahnya, tepat sebelum diserahkan kepada si pembeli. Maka, sangat masuk akal jika harga jualnya lebih mahal dari rokok kebanyakan.

Setelah berhari-hari berjualan dibantu dua abdi perempuan, Mendut berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu mandiri dan terbebas dari “pajak” yang ditetapkan sang tumenggung.

Alhasil, ia pun lolos dari cengkraman sang tumenggung yang telah tua dan berisitri itu—meski pada akhirnya harus tewas mengenaskan di tangan sang tumenggung, menyusul sang kekasih, Pranacitra, ke alam baka. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-17. Saat Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung—mungkin di tahun 1627 setelah Pati jatuh ke tangan Mataram, atau akhir paruh pertama abad itu.

Kita sedikitnya dapat tahu sejak kapan pastinya orang-orang Nusantara mulai gemar menghisap tembakau. Babad ing Sangkala memberitahukan kepada kita bahwa tembakau mulai digemari di Nusantara, khususnya oleh orang Jawa yakni tahun 1523 Saka (1601 Masehi). Berita dari babad itu lumayan menjadi pentunjuk bahwa sekurang-kurangnya awal abad ke-17 tembakau popular di Mataram.

Kesaksian babad ing Sangkala ini berkesesuaian dengan tulisan Edmund Scott, kapten loji asal Inggris yang menetap di Banten tahun 1603-1604 Masehi. “Mereka (orang-orang Jawa) gemar akan tembakau dan opium,” tulisnya. Hanya saja kita tidak tahu apakah tembakau dan candu itu digabungkan, juga kita tidak begitu jelas tentang dikunyah atau dihisap—yang pasti kombinasi kedua benda itu sangat memabukkan.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa bahwa kemungkinan besar tembakau telah digemari di masa sebelumnya yaitu sekitar abad ke-16. Pada momen-momen tertentu tembakau telah mengganti peran sirih-pinang sebagai pewangi dan pembersih mulut. Dan tentu asapnya mulai menyaingi asap dupa.

Saat VOC mendirikan benteng di Pulau Jawa; Jakarta (Batavia) dan lalu Jepara, kebiasaan menghisap tembakau kemudian menjadi bervariasi. Jika pada masa sebelumnya tembakau dibakar melalui lintingan, kini tembakau mulai dibakar melalui pipa-pia khusus.

Kabarnya, saat menghadap istana Karta di Mataram utusan dari VOC telah menghadiahi Sultan Agung sejumlah barang antik seperti pedang panjang, baju zirah, tutup kepala dari besi, jam pasir, kompas dan sebuah pipa rokok yang berpolet emas, mungkin sebagai langkah diplomasi.

Pertanyaannya adalah: sejak kapan tembakau ditanam di Jawa? Belum ditemukan data sejarah yang pasti untuk menjelaskan kapan budidaya tembakau dimulai, di mana, dan oleh siapa? Rumphius, serang peneliti prasejarah yang juga gemar meneliti tumbuhan di Maluku pada abad ke-17 pun mempertanyakan apakah tebakau adalah tanaman khas Jawa.

Yang jelas, sepanjang abad ke-18 budidaya tembakau kemudian berkembang di Pulau Jawa tanpa peran apa pun dari bangsa Eropa. Pada awal abad ke-19 wilayah Kedu dan bebrapa daerah di Banyumas merupakan daerah penghasil tembakau, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk tujuan ekspor ke pulau-pulau lain di Nusantara.

Membakar tembakau tanpa daun jagung di masa itu menjadi kebiasaan yang telah menyebar luas. Sama halnya dengan tembakau, kapan tanaman jagung dibudiddayakan di Indonesia pun belum dapat dipastikan.

Seorang ahli bernama J.S. Wigblodus berpendapat bahwa masuknya tanaman jagung ke Pulau Jawa dapat dikatikan dengan penjelajahan Benua Amerika oleh Colombus yaitu sekitar abad ke-15. Tetapi pendapat ahli lain yaitu M.D.W. Jeffreys kemudian membuktikan bahwa tanaman jagung sudah lebih dulu ada di Nusantara, sebagai jenis “jagung pra-Colombus”.

Secara etimologis, kata “jagung” diduga berasal dari gabungan dua kata. Dari kata jawawut dan kata agung, alias jewawut besar. Konon jawawut adalah tanaman sejenis padi gogo yang telah dikembangkan di Pulau Jawa. Jika tidak ada hubungannya dengan Jagung, beberapa ahli berpendapat bahwa asal kata Jawa berasal dari kata jawawut.